Waspada! Ini 6 Tanda Puasa yang Sia-sia
Bulan Ramadhan menjadi bulan yang identik dengan ibadah puasa. Namun nyatanya banyak yang hanya bersusah payah menahan lapar dan dahaga, tapi puasanya masuk kategori puasa yang sia-sia. Hal ini terdapat dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut,
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ
“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath Thobroniy).
Lalu, bagaimana bisa hal ini terjadi? Mengapa usaha seseorang yang sudah menahan lapar dan haus seharian penuh tidak menjamin dirinya mendapatkan pahala puasa yang utuh? Untuk mengetahuinya, simak penjelasan lengkapnya berikut.
Daftar Isi
Apa Saja Tanda Puasa Kita Sia-sia?
Tanpa dilandasi niat yang ikhlas
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Muslim)
Hadits di atas menggambarkan betapa besar peran niat dalam segala aktivitas ibadah yang kita lakukan. Niat akan menjadi penentu balasan apa yang didapatkan seorang hamba, sehingga sebelum melakukan ibadah puasa selalu luruskan niat dalam hati Anda.
Niatkan ibadah hanya untuk mendapat ridho Allah, bukan yang lainnya seperti sungkan pada seseorang, puasa karena ikut-ikutan dan semacamnya.
Berkata dusta (az zuur)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903).
As Suyuthi menjelaskan bahwa az zuur dalam hadits di atas maksudnya adalah berkata dusta dan memfitnah (buhtan). Sedangkan kata “mengamalkannya” berarti melakukan perbuatan keji yang merupakan konsekuensinya yang telah Allah larang. (Syarh Sunan Ibnu Majah, 1/121, Maktabah Syamilah)
Berkata sia-sia (laghwu) dan perkataan porno (rofats)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ
“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan laghwu dan rofats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim)
اللَّغْو الْكَلَام الَّذِي لَا أَصْل لَهُ مِنْ الْبَاطِل وَشَبَهه
“Laghwu adalah perkataan sia-sia dan semisalnya yang tidak berfaedah.” (Fathul Bari: 3/346)
Perkataan sia-sia yang seringkali kita temui di tengah masyarakat diantaranya ghibah (menggunjing orang lain), adu domba, memfitnah, dan debat kusir.
Selanjutnya penjelasan mengenai rofats disampaikan oleh Ibnu Hajar berikut ini,
وَيُطْلَق عَلَى التَّعْرِيض بِهِ وَعَلَى الْفُحْش فِي الْقَوْل
“Istilah Rofats digunakan dalam pengertian ‘kiasan untuk hubungan badan’ dan semua perkataan keji.”
Al Azhari juga menjelaskan bahwa rofats merupakan istilah untuk setiap hal yang diinginkan laki-laki pada wanita, bisa juga disebut sebagai kata-kata porno.
Tetap bermaksiat dan tidak berusaha melawannya
Ada petuah indah dari Jabir bin ‘Abdillah, “Seandainya kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu turut berpuasa dari dusta dan hal-hal haram serta janganlah kamu menyakiti tetangga. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama saja.” (Latho’if Al Ma’arif, 1/168, Asy Syamilah).
Perkataan Ibnu Rojab berikut juga menunjukkan tingkatan orang yang masih gemar bermaksiat dalam puasanya,
أَهْوَنُ الصِّيَامُ تَرْكُ الشَّرَابِ وَ الطَّعَامِ
“Tingkatan puasa yang paling rendah hanya meninggalkan minum dan makan saja.”
Ya, puasa bukan hanya ibadah yang cukup dilakukan dengan menahan lapar dan haus saja, melainkan juga menjaga keseluruhan indera dari hal-hal buruk atau haram. Beberapa contoh kemaksiatan yang masih sering dilakukan dalam kondisi puasa adalah merokok, mencurangi orang lain, berpacaran, mengumbar aurat, hingga mencuri.
Sejatinya, puasa disyariatkan agar bisa menjadi perisai yang menghalangi seorang hamba untuk mengikuti godaan syahwat yang terlarang, sehingga mencapai derajat takwa yang Allah sebutkan dalam firman-Nya berikut,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan bagi kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan pada orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183).
Puasa tanpa ilmu
Tak hanya puasa, segala bentuk ibadah memerlukan landasan ilmu yang kuat. Ilmu layaknya adalah pedoman yang menjadikan suatu amalan menjadi benar dan berkualitas. Terkait dengan ibadah puasa, Anda harus memahami ilmu fikih yang diantaranya mencakup rukun puasa, syarat sah puasa, sunnah puasa, hingga pembatal-pembatal puasa.
Jika Anda menjalankan puasa tapi tidak memahami hal-hal yang tadi disebutkan, maka besar kemungkinan Anda akan melakukan pembatal-pembatal puasa tanpa Anda sadari. Inilah yang menjadikan puasa Anda menjadi sia-sia belaka.
Puasa tapi tidak sholat
Dikutip dari situs rumaysho.com, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Puasa yang dilakukan oleh orang yang meninggalkan shalat tidaklah diterima karena orang yang meninggalkan shalat berarti kafir dan murtad.”
Rasul juga pernah bersabda yang artinya, “Pembatas antara seorang muslim dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan sholat”. (HR. Muslimm, no 82).
Jadi puasa orang yang tidak mendirikan sholat adalah puasa yang sia-sia dan tertolak, sebab statusnya sudah menjadi orang kafir yang tidak akan diterima amal ibadahnya satupun oleh Allah ta’ala.
Apakah Berkata Dusta dan Berbuat Maksiat Membatalkan Puasa?
Hal ini dijelaskan oleh Mala ‘Ali Al Qori dalam Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih (6/308), “Orang yang berpuasa seperti ini sama keadaannya dengan orang yang haji yaitu pahala pokoknya (ashlu) tidak batal, tetapi kesempurnaan pahala yang tidak dia peroleh. Orang semacam ini akan mendapatkan ganjaran puasa sekaligus dosa karena maksiat yang dia lakukan.”
Ibnu Rojab juga menyebutkan bahwa meninggalkan perkara mubah tidak akan sempurna sampai seseorang meninggalkan perbuatan haram, dalam hal ini perkataan dusta dan maksiat. Hal-hal tersebut tidak membatalkan puasa, sehingga tidak ada kewajiban pelakunya mengganti di luar bulan Ramadhan.
Berdasarkan dua penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa puasa orang yang berdusta dan bermaksiat akan tetap sah namun ia tidak mendapatkan ganjaran sempurna di sisi Allah, sehingga bisa dikatakan bahwa puasanya adalah puasa yang sia-sia.
Penutup
Sekian pembahasan mengenai tanda puasa yang sia-sia. Bulan Ramadhan bukan hanya bulan untuk puasa, namun juga bulan untuk menahan diri dari segala macam kemaksiatan. Karena Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah, lebih baik kita mengisinya dengan memperbanyak ibadah dan amal kebaikan serta meminta ampunan atas segala dosa yang telah lalu. Sebab, orang yang meninggalkan Ramadhan dalam kondisi dosanya tidak diampuni sesungguhnya adalah orang yang merugi.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda,
رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ – أَوْ بَعُدَ – دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ
“Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan kemudian Ramadhan berlalu dalam keadaan dosa-dosanya belum diampuni.” (HR. Ahmad)
Semoga Allah beri taufik kepada kita untuk bisa selalu mendekatkan diri kepada-Nya.
Baca Juga: Bau Mulut Saat Puasa: Penyebab dan 5 Cara Ampuh Mencegahnya
Editor: Izzahadinda